Sabtu, 25 Agustus 2012


Resensi Puisi ‘Aku, Kau... Kita’

Sunday, December 2, 2007 Labels:  |
Oleh Inez Dikara

Aku, Kau... Kita oleh Littleayas

Seni adalah bentuk/ciptaan yang muncul dari pengalaman jiwa seseorang karena ia ingin memberikan bentuk yang konkrit terhadap yang ia rasakan. Sehingga orang lain dapat pula merasakannya. Puisi adalah salah satu bagian dari bentuk seni, yaitu Seni Sastra. Berbeda dengan bentuk sastra lainnya seperti prosa (cerpen dan novel), puisi 'berkomunikasi' dengan menggunakan kata sebagai simbol; kiasan. Kata itu mengungkapkan sekaligus arti pikiran, perasaan dan khayal (imajinasi). Dengan demikian menulis puisi bukanlah suatu aktivitas di mana kita dapat dengan santai menabur-naburkan kata di atas kertas. Karena penyair harus dapat mengendalikan pikiran, perasaan dan daya khayalnya sekaligus, sehingga membentuk pengalaman baru yang bermakna. Yang imajinatif. Yang tidak hanya sekedar luapan perasaan serupa tulisan-tulisan di catatan harian. Dengan mengembangkan kemampuan berimajinasi yang baik, diharapkan penulis dapat menghasilkan karya-karya puitik yang baik pula.

Untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas berbasis web -Kemudian.com- di mana salah satu programnya adalah meresensi karya puisi dan prosa, maka berikut ini saya akan mencoba mengulas satu sajak karya anggota kemudian.com yang berjudul 'Aku, Kau dan... Kita':

Aku, Kau … Kita

Kau ada untukku
Menghangatkan hati
Mengusir Sepi
Membunuh galau
Selayaknya telaga tenang
Dimana tumbuh mawar harum berseri

Aku ada untukmu
Melarutkan duka
Meretaskan tawa
Mengalunkan nada rindu
Selayaknya denting kasih
Jernih dan lembut

Apakah ini cinta?

Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta

Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dipertanyakan satu sama lain
Saat derita mencinta berpalung rindu hadir

Apakah ini cinta?

Pun kala hati hampa tanpamu
Kau tetap menanyakan cinta

Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu

Dalam sunyi
Dalam gelap
Di tengah keramaian
Di bawah bulan perak
Di terik mentari
Di bayang kedamaian pohon
Di sela semilir angin
Di antara gemiricik sungai
Aku ada untukmu
Selayaknya kau ada untukku
Selamanya

Meski sangkakala terpagut manis dunia


Saya menafsirkan sajak ini adalah tentang dua anak manusia yang masing-masing keberadaannya saling memberikan arti. Di kala susah di kala senang. Meskipun begitu, ternyata di sini cinta masih dipertanyakan. Apakah semua terjadi atas nama cinta? Seperti yang tertulis pada bait ke-3, yang kemudian dilanjutkan pada bait berikutnya:

Apakah ini cinta?

Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta

Tetapi pada bait ke-8 saya menemukan kontradiksi pada makna yang ingin disampaikan. Ketika sebelumnya cinta masih dipertanyakan keberadaannya, pada bait ini cinta seolah sudah sudah hadir (mewujud) sejak awal:

Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu

Sehingga yang ingin disampaikan sedikit menjadi rancu: keberadaan cinta yang dipertanyakan, atau cinta (yang sudah ada) yang harus dikorbankan?.

Pada bait penutup tertulis, ‘Meski sangkakala terpagut manis dunia’, di mana ‘sangkakala’ yang dalam KBBI berarti terompet; terompet yang berbunyi secara berkala namun dapat juga diartikan sebagai ‘diambang kiamat/kiamat telah datang’ yang dilanjutkan dengan ‘terpagut manis dunia’. ‘terpagut’ dalam KBBI berarti ‘mematuk, mencatuk’. Maka saya menafsirkan bait ini adalah suatu kebahagian yang harus berakhir/direnggut oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan kalau memang pesan itu yang ingin disampaikan, menurut saya pilihan kata yang pas adalah ‘memagut’ dan bukannya ‘terpagut’.

Mengacu pada sajak yang sejatinya merupakan kumpulan kata-kata (simbol/lambang) hasil dari imajinasi -yang kreatif- yang memberikan pengalaman baru yang bermakna, tidak dapat saya temukan pada sajak ini. Meskipun demikian, bagi saya menulis puisi adalah sebuah proses belajar dan 'mencari' yang tidak akan pernah ada habisnya.

Akhir kata, seperti tulisan penyair Sutardji Calzoum Bahri dalam kumpulan esai-nya ‘Isyarat’ terbitan Indonesia Tera, ‘…menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau mencipta foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu’.

Jakarta, 12 November 2007

Resensi Puisi ‘Senandung Hujan’ April 13, 2009

Posted by fortherose in Resensi Karya
trackback
Oleh Inez Dikara
Puisi ini sebenarnya cukup disampaikan oleh bait terakhir saja. Dua bait sebelumnya justru malah menghilangkan maksud yang hendak disampaikan—rumit dan membingungkan.
Kutemukan bayangmu tak lagi menjelma riuh gemericik hujan
Bait ini cukup terang. Kau di sana adalah sebuah bayang yang tak lagi menjelma riuh gemericik hujan. Tapi begitu memasuki baris kedua, saya sebagai pembaca mengalami kebingungan
Seperti seringkali kau menangkap kerinduan di balik rinainya
Kalimat ini jika berdiri sendiri dia memang bisa dibaca dan terang maknanya. Tetapi jika dikaitkan dengan baris sebelumnya, kata “seperti” di baris kedua ini tidak berkaitan dengan baris yang mendahuluinya. Coba mari kita cermati lagi. Si aku lirik menangkap bayang seseorang yang tidak lagi seperti dulu (riuh gemericik hujan), seperti seseorang tersebut menangkap kerinduan di balik rinainya. Logika kalimat dasar perumpamaan “A seperti B”, atau “sesuatu seperti C”, sama sekali tidak saya temukan dalam 2 kalimat tersebut. Bagi saya, jalinan kalimat tersebut tidak bisa dimengerti. Indah. Tapi tak berarti apa-apa.
Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan
Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku
Kalimat berikutnya juga mengalami hal yang serupa. Saya coba memeriksanya beberapa kali dan mengalami kebingungan yang sama dengan baris sebelumnya.
Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan
Pertanyaan adalah apanya yang ‘semilir’? Angin? Mungkin karena biasanya kata semilir menyertai angin. Tapi bisa juga tidak. Dan semilir tidak sama dengan angin. Kemudian ‘kecemasan’ yang datang dari mana? ‘Kering dedaunan’ sedang menggambarkan apa? Tentu saja sebagai kalimat yang berdiri sendiri ia tak mengalami persoalan apa-apa. Tetapi begitu dikaitkan dengan baris sebelumnya, dan baris-baris selanjutnya, persoalan pemaknaan mulai muncul. Apalagi dengan tegas penulis mengaitkannya dengan menggunakan kata ’dan’ di awal kalimat. Apa hubungannya dengan 2 kalimat pertama yang juga belum terjelaskan itu?
Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku
Kalimat berikutnya nampaknya koheren dengan kalimat sebelumnya. Ia mencoba menerangkan. Tapi berhubung yang diterangkannya masih bermasalah, maka ia jadi tak berarti apa-apa. Kepekatan puitik berbeda dengan kegelapan yang dihasilkan oleh sesat pikir atau cacat logika. Apa yang dimaksud dengan “bukan lagi” di dalam kalimat tersebut? “bukan lagi” tidak ditampilkan dalam kalimat sebelumnya, tapi mewujud di kalimat berikutnya seolah-olah pembaca sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh penyairnya. 4 baris di bait pertama ini seperti lanturan yang tak berujung pangkal, tak berkait satu sama lain. Tampaknya saja berkaitan hanya karena mereka dikelompokkan. Tampaknya saja indah, tetapi tak menyampaikan apa-apa.
Bait kedua saya rasa meruntuhkan bait pertama yang sudah runtuh sejak semula.
Badai yang datang tak getarkan liar ilalang di hatiku
Petir bersahutan tak menghapuskan hamparan lapang
Satu dua bocah berbasah riang ditingkah derasnya hujan
Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa
“Badai” dan “petir “yang datang dari manakah? Bait pertama bukankah seakan sedang menggambarkan kekeringan, seakan sedang menolak hujan, atau kehilangan hujan? Hujan memang terus disebutkan di bait pertama, tapi dalam keadaan tak lagi berlangsung. Bait kedua sebenarnya selamat dalam hal logika. Kalimat-kalimatnya saling menunjang satu sama lain. Tapi ada kejutan di kalimat terakhir:
Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa
O, sedang dalam perjalanan rupanya. “mengejutkan” memang, karena sama sekali tak ada tanda-tanda sebelumnya.
Lalu puisi ini dilanjutkan atau ditutup lagi oleh kalimat:
: Seperti kepulanganmu yang terlalu deras untuk kurindukan
Dan ternyata puisi ini adalah perihal kepulangan seseorang yang terlalu deras untuk dirindukan. Tapi terlalu deras di sini tak cukup menjelaskan. Apakah dengan kederasan tersebut dia bisa tetap dirindukan atau tidak.
Puisi bukanlah sejumlah otak-atik bahasa atau kata yang indah. Ia hendak menyampaikan sesuatu. Pertaruhannya adalah bagaimana ia menyampaikan sesuatu itu dengan cara yang luar biasa. Bisa jadi tak indah, tapi ia menyentuh. Puisi hanya cara menyampaikan. Ia bukan tujuan. Puisi juga tak identik dengan berindah-indah, dituliskan dengan kalimat yang rumit, juga metafora yang gelap. Puisi adalah cara kita menyampaikan hal-hal yang kita lihat dan rasakan, bukan sekadar permainan kata belaka. Bisa saja memang kita mencipta puisi lewat permainan kata. Tetapi apa yang tercipta dari permainan tersebut tentu saja harus kita pertanggungjawabkan. Menulis puisi bukan lempar batu sembunyi tangan. Sembunyi di balik kegelapan makna dan ketidakjelasan arti dan maksud.
Mungkin penulis harus mencoba memulai dari yang sederhana saja. Tidak berumit-rumit lalu malah tersesat dan menyesatkan pembaca. Puisi juga bisa sederhana dan apa adanya. Dan keindahan akan lahir dengan sendirinya.

Resensi Puisi ‘Senandung Hujan’ April 13, 2009

Posted by fortherose in Resensi Karya
trackback
Oleh Inez Dikara
Puisi ini sebenarnya cukup disampaikan oleh bait terakhir saja. Dua bait sebelumnya justru malah menghilangkan maksud yang hendak disampaikan—rumit dan membingungkan.
Kutemukan bayangmu tak lagi menjelma riuh gemericik hujan
Bait ini cukup terang. Kau di sana adalah sebuah bayang yang tak lagi menjelma riuh gemericik hujan. Tapi begitu memasuki baris kedua, saya sebagai pembaca mengalami kebingungan
Seperti seringkali kau menangkap kerinduan di balik rinainya
Kalimat ini jika berdiri sendiri dia memang bisa dibaca dan terang maknanya. Tetapi jika dikaitkan dengan baris sebelumnya, kata “seperti” di baris kedua ini tidak berkaitan dengan baris yang mendahuluinya. Coba mari kita cermati lagi. Si aku lirik menangkap bayang seseorang yang tidak lagi seperti dulu (riuh gemericik hujan), seperti seseorang tersebut menangkap kerinduan di balik rinainya. Logika kalimat dasar perumpamaan “A seperti B”, atau “sesuatu seperti C”, sama sekali tidak saya temukan dalam 2 kalimat tersebut. Bagi saya, jalinan kalimat tersebut tidak bisa dimengerti. Indah. Tapi tak berarti apa-apa.
Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan
Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku
Kalimat berikutnya juga mengalami hal yang serupa. Saya coba memeriksanya beberapa kali dan mengalami kebingungan yang sama dengan baris sebelumnya.
Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan
Pertanyaan adalah apanya yang ‘semilir’? Angin? Mungkin karena biasanya kata semilir menyertai angin. Tapi bisa juga tidak. Dan semilir tidak sama dengan angin. Kemudian ‘kecemasan’ yang datang dari mana? ‘Kering dedaunan’ sedang menggambarkan apa? Tentu saja sebagai kalimat yang berdiri sendiri ia tak mengalami persoalan apa-apa. Tetapi begitu dikaitkan dengan baris sebelumnya, dan baris-baris selanjutnya, persoalan pemaknaan mulai muncul. Apalagi dengan tegas penulis mengaitkannya dengan menggunakan kata ’dan’ di awal kalimat. Apa hubungannya dengan 2 kalimat pertama yang juga belum terjelaskan itu?
Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku
Kalimat berikutnya nampaknya koheren dengan kalimat sebelumnya. Ia mencoba menerangkan. Tapi berhubung yang diterangkannya masih bermasalah, maka ia jadi tak berarti apa-apa. Kepekatan puitik berbeda dengan kegelapan yang dihasilkan oleh sesat pikir atau cacat logika. Apa yang dimaksud dengan “bukan lagi” di dalam kalimat tersebut? “bukan lagi” tidak ditampilkan dalam kalimat sebelumnya, tapi mewujud di kalimat berikutnya seolah-olah pembaca sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh penyairnya. 4 baris di bait pertama ini seperti lanturan yang tak berujung pangkal, tak berkait satu sama lain. Tampaknya saja berkaitan hanya karena mereka dikelompokkan. Tampaknya saja indah, tetapi tak menyampaikan apa-apa.
Bait kedua saya rasa meruntuhkan bait pertama yang sudah runtuh sejak semula.
Badai yang datang tak getarkan liar ilalang di hatiku
Petir bersahutan tak menghapuskan hamparan lapang
Satu dua bocah berbasah riang ditingkah derasnya hujan
Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa
“Badai” dan “petir “yang datang dari manakah? Bait pertama bukankah seakan sedang menggambarkan kekeringan, seakan sedang menolak hujan, atau kehilangan hujan? Hujan memang terus disebutkan di bait pertama, tapi dalam keadaan tak lagi berlangsung. Bait kedua sebenarnya selamat dalam hal logika. Kalimat-kalimatnya saling menunjang satu sama lain. Tapi ada kejutan di kalimat terakhir:
Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa
O, sedang dalam perjalanan rupanya. “mengejutkan” memang, karena sama sekali tak ada tanda-tanda sebelumnya.
Lalu puisi ini dilanjutkan atau ditutup lagi oleh kalimat:
: Seperti kepulanganmu yang terlalu deras untuk kurindukan
Dan ternyata puisi ini adalah perihal kepulangan seseorang yang terlalu deras untuk dirindukan. Tapi terlalu deras di sini tak cukup menjelaskan. Apakah dengan kederasan tersebut dia bisa tetap dirindukan atau tidak.
Puisi bukanlah sejumlah otak-atik bahasa atau kata yang indah. Ia hendak menyampaikan sesuatu. Pertaruhannya adalah bagaimana ia menyampaikan sesuatu itu dengan cara yang luar biasa. Bisa jadi tak indah, tapi ia menyentuh. Puisi hanya cara menyampaikan. Ia bukan tujuan. Puisi juga tak identik dengan berindah-indah, dituliskan dengan kalimat yang rumit, juga metafora yang gelap. Puisi adalah cara kita menyampaikan hal-hal yang kita lihat dan rasakan, bukan sekadar permainan kata belaka. Bisa saja memang kita mencipta puisi lewat permainan kata. Tetapi apa yang tercipta dari permainan tersebut tentu saja harus kita pertanggungjawabkan. Menulis puisi bukan lempar batu sembunyi tangan. Sembunyi di balik kegelapan makna dan ketidakjelasan arti dan maksud.
Mungkin penulis harus mencoba memulai dari yang sederhana saja. Tidak berumit-rumit lalu malah tersesat dan menyesatkan pembaca. Puisi juga bisa sederhana dan apa adanya. Dan keindahan akan lahir dengan sendirinya.

Rabu, 15 Agustus 2012

resensi puisi

Pamor Kesejatian Hidup
Oleh: Hamidin Krazan

Judul Buku : Kumpulan Puisi Tegalan
Ngranggeh Katuranggan
Penerbit : Tegal Tegal
Dimensi Buku : 98 halaman
Cetakan Pertama :Januari 2009

UNTAIAN mutiara kehidupan tersirat dan terangkai pada seutas benang merah yang teracik dalam buku kupulan puisi ini. Karya puisi keroyokan yang melibatkan para penulis puisi dari lintas profesi bahkan lintas generasi. Kategori ‘penyair sejati’ hanya beberapa orang. Sebagian besar didominasi para penulis dari kalangan wiraswasta, guru, juragan, aparat, pejabat hingga Walikota.
Hal ini menjadi rangkaian kekuatan yang utuh bagai sajian musik orkestra. Semua puisi terhimpun dalam satu tema dan makna yang pencapaiannya melalui pelangi pikir yang merentas dari sudut pandang yang majemuk.
Tidak ditemukan makna ‘Ngranggeh Katuranggan’ baik secara etimologi maupun terminoligi di halaman pembuka dari untain judul ini. Secara filosofi, Dr Maufur memaparkan artinya pada puisi yang ditampilkan di back cover.
‘Ngrenggeh Katuranggan’ itu sebuah upaya meraih kemuliaan hidup dan kesejatian diri. Sejumlah puisi menampilkan pamornya dalam wujud tatanan kata dan makna parsial sesuai dengan ukuran nilai ideal dalam setiap lini kehidupan yang tentunya terjalin dengan proses penciptaan puisi.
Seperti pandangan Dr Maufur terhadap hakekat jabatan tersimpul menjadi satu untaian titian dari racikan nilai ideal pe-dapuk-an seorang abdi masyarakat, abdi bangsa sekaligus berada dalam poros putaran sikulus hakiki sebagai abdi Sang Khalik. Dalam puisi ‘Pangsiun’ (Dr Maufur) ngudarasa mengenai bagaimana sebuah deretan tugas formal yang dituntut harus ditunaikan agar menuai hasil maksimal namun dikerjakan dalam rentang waktu sejengkal. Salah satu larik menegaskan satu iktikad sekaligus prinsip. ‘…nyong tetep sahaja lan tansah berjuwang’. (…’aku selalu bersahaja dan tetap berjuang)
Kongkrit dari bentuk perjuangan, dibahasakan dalam ‘Clandakan’ (Emma Karimah), dengan cara kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Terwujudnya janji dengan bukti pelaksanaan program jika si aku lirik seorang eksekutif maupun legislatif.
Sedangkan puisi ‘Tak Jaluk’ dan Ngertia Maring Inyong’ (Lanag Setiawan) terpentok pada pupus atau sangga langit dari hakekat cinta biolgis. Beda jauh dengan ‘The Long and Winding Road’, Surat 1, 2 (M Hadi Utomo). Meski senafas, tetapi ketiga puisi M Hadi lebih menyajikan liris metaforis sehingga menguak ruang imaji lebih menembus hakikat cinta bernuansa transendental (ilahiyah). Meskipun belum sedahsyat konsep mahabbah tokoh sufi Rabiah Al Adawiyah.
Pamor atau citra kemulian yang diidamkan baik dalam kehidupan berkeluarga, buah madu dalam keluarga (anak), hakikat seorang istri, sosok ideal dalam bentangan umur yang sangat singkat, masing-masing terwakili dalam puisi ‘Bocah Ilang’ dan ‘Katresnan’ (Wijanarko), ‘Ora Gampang’ (Oyan S Aryo), ‘Bayangan’ (Denok Harti), ‘Ngenteni’ (H Tambari Gustam).
Wacana jatidiri bangsa dan ke-Indonesia-an sejati tertutur melalui ‘Salah Sijine Crita’ (Diah Setyawati), ‘Mbetahi lan Ngayemi’ (Abu ma’mur MF). Praktik hidup sosial kemasyarakatan maupun sikap politis seseorang idelanya tidak segetir dalam ‘Negara Cingkarangmalang…’ (Nurngudiono) atau ‘Brandal Mas Cilik’ (Yono Daryono) yang menyuarakan kondisi tatanan sosial yang asosial. Lebih mengiris nadi rakyat lagi jika di dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa ‘…pemimpine budek picek gupak madu.’ (Pemimpinnya tuli buta berkubang madu).
Kalaupun mereka baik --namun masih ada tapinya-- seperti disinyalir ada persekongkolan subhat, dalam puisi Wali Kota Tegal, Adi Winarso berjudul ‘Pecingan’ dan ‘Onggrongan’. Kedua puisi ini oleh editor (Lanang Setiawan) ditempatkan sebagai puisi urutan terdepan.
Rumus menjadi baik, menghasilkan tatanan dan perilaku yang mendekati ideal, seseorang tidak bisa lepas dari proses dan pembelajaran kebaikan melalui berbagai jalan. Secara lirik puisi Atmo Tan Sidik memberikan indikasi wujud sang guru sejati, yakni pengalaman hidup itu sendiri. Ada semacam motivasi agar setiap orang pandai ber-iqra terhadap fenomena alam (ayat kauniyah) seperti pada puisi ‘Sing Nggo Tuku Sing langka’. Senada dengan itu tersebut dalam puisi ‘Resep Cina’ (Abu Ma’ruf).
Satu hal yang perlu direnungkan, Dwi Ery Santoso memberikan tutur tinular yang kini kian terlantar. Di salah satu petikan ‘Saoran-Orane’, Ery mengajak kontemplasi (muhasabah). //pancen saiki wong jawa wis akeh/ pada ninggalna watek asline/ ora pada gelem nyekeli elmu tani… // (Memang kini banyak orang Jawa/ melukar jati dirinya/ enggan berpegang ilmu petani…) Akibatnya? Silakan baca bukunya *
Judul Cerpen: Cinta adalah Kesunyian

Nama Pengarang: Gabriel Garcia Marquez

Penerbit: Pusaka Sastra LKiS Yogyakarta

Tebal Buku: 164 halaman

Cerpen yang diresensikan, halaman 75-83

Cetakan: ke-IV, Juli 2009

Penerjemah: Anton Kurnia


Latar Belakang Pengarang
Gabriel Garcia Marquez dilahirkan di Aracataca, Kolombia, 1928. Ia adalah peraih Hadiah Nobel Sastra 1982. Anak seorang operator telegraf itu penah belajar ilmu hokum di Universitas Nasiaonal Kolombia, namun tak selesai. Lalu ia bekerja sebagai wartawan dan kontributor untuk sejumlah kantor berita di beberapa negara Amerika Latin, Eropa dan New York. Di kemudian hari ia menjadi redaktor harian berpengaruh yang terbit di Bogota, El Espectador. Marquez dikenal dunia sebagai pengibar realisme magis dalam novel-novelnya, Al Coronet No Tiene Quien Ie Escriba – Tak Seorang Pun Menulis pada Seorang Kolonel (1961). Los Funerales General en Su Labrinto – Sang Jendral pada Labirinnya (1989). Ia juga menerbitkan sejumlah buku nonfiksi.

Sinopsis Cerpen
Florentino Ariza sebagai tokoh utama dalam cerpen ini menggambarkan seorang lelaki dewasa yang selalu melamunkan dan membayangkan pujaan hatinya. Fermina Daza, perempuan khayalannya itu tak banyak diceritakan dalam cerpen ini. Namun pengarang lebih menekankan inti cerita pada arti cinta dan kesunyian. Dalam perjalan Florentino Ariza, ia mendapatkan kejadian yang sangat tak terduga. Suatu cinta ia dapat dengan sekejap dengan seorang wanita yang tak ia kenal sedikit pun dan hilang begitu saja dalam kesunyian. Dengan bagaimana Florentino Ariza mendapatkan cinta sesaatnya itu? Coba luangkan ssdikit waktu untuk membaca cerpen peraih Nobel Sastra ini, mungkin akan menambah inspirasi karya sastra kita.

Analisis Unsur Instrinsik
Tema: Cinta dan Kesunyian

Setting: perjalanan di sungai dengan menggunakan kapal

Alur: maju dan mundur

Tokoh: Florenzino Ariza, Kapten Kapal, Duta Besar Inggris dan Wanita misterius

Perwatakan: Florenzio Ariza orang yang tenang dan tidak gegabah.

Kapten Kapal orang yang tegas dan melaksanakan tugasnya.

Duta Besar Inggris orang yang kurang arif dan semaunya.

Wanita misrerius orang yang misteri dan tak pernah memikir panjang.

Sudut Pandang: pengarang sebagai orang ketiga yang banyak tahu.

Amanat: “cinta dengan nafsu sesaat hanya membuat kenikmatan sesaat dan mengakibatkan keterburukan sendiri”


Analisis Unsur Ekstinsik
Nilai Moral : Cinta itu bukan nafsu sesaat kenikmatan dunia, hal seperti ini hanya membuat seseorang terjun dalam keterpurukannya, penyesalan dan kehilangan harga dirinya.

Nilai Sosial : Jabatan setinggi apapun sepatutnya tetap menghargai sesama dan makhluk hidup lainnya. Serta, alangkah baiknya seseorang berinteraksi telah saling mengenali satu-sama lain.

Nilai Budaya : Kebiasaa masa orang Eropa dengan sistem kenegaraannya. Dalam cerpen ini sangat menggambarkan suasana zaman peperangan di negara itu dan adat tunduk serta hormat pada seorang Duta Besar.

Keunggulan Cerpen
Dalam cerpen ini, pengarang menitikberatkan gambaran dan bahasa sastra lama, kebahasaan yang sangat dijiwai pengarang membuat para pembaca kagum. Dan membuat para pembaca lebih terinpirasi. Terutama pada diakhir-akhir alinea, mulai terlihat ciri pengarangyang menggambarkan cerita dapat berakhir dengan hal apapun, tak harus sedih atau pun senang.

Kelemahan Cerpen
Cerita ini memang menggambarkan abad dua puluhan yang kemungkinan besar banyak pembaca sulit membayangkan masa itu. Dan mungkin tak sedikit pembaca akan berhenti di lembar kedua, karena di masa kini sulit untuk memahami bacaan yang tinggi kebahasaannya.

Kesimpulan
Sebagai peresensi berdasarkan dari keunggulan dan kelemahan cerpen ini menilai bahwa cerpen ini baik untuk dipublikasikan karena akan menambah imajinasi pembaca dan mencoba untuk memotifasi menjadi penulis.
RESENSI CERPEN

1). Indentitas Cerpen
     a. Judul Cerpen         : Setangkai Bunga Bermahkota Biru
     b. Nama Pengarang   : Umar Said
     c. Tempat Terbit        : Yogyakarta
     d. Tanggal Terbit        : 5 April 2009
     e. Jumlah Halaman     : 3 Halaman
     f. Jumlah kata-kata    : 1253 kata

2). Sinopsis Cerpen
Puspita, seorang gadis yang banyak tahu akan tentang makna bunga mulai dari jenis bunga, makna tiap bunga yang ia kenal, warna bunga, dan semua bagian-bagian bunga ia dapat mengartikan setiap bagian dari bunga yang dikenalnya. Suatu hari ada seorang pria dengan sangat memprihatinkannya duduk disebuah taman bersama seorang adiknya yang bermain di taman ditaman tersebut. Puspita yang heran lantas menghampiri seorang pria yang tengah termenung juga. Kebetulan juga pria tersebut menyukai bunga walaupun ia sempat berkata “Aku juga tidak tahu kapan aku mulai menyukai bunga” pria itu berkata kepada Puspita tentang satu bunga yang pernah pria itu milikki, tanpa enggan Puspita menikmati cerita pria tersebut. Sekuntum bunga bukan anggrek dan bukan juga mawar. Puspita yang mendengarnya langsung seloroh saja bercerita tentang bunga anggrek sepengetahuannya; “Aku mengenal anggrek. Tahukah kau, anggrek adalah simbol cinta, kemewahan, dan keindahan.” Si pria hanya menjawab “aku tahu.” “Bangsa yunani menggunakan anggrek sebagai simbol kejantanan. Dan bangsa tiongkok percaya aroma anggrek berasal dari tubuh kaisar mereka. Jika anggrek muncul di mimpi seseorang, hal itu dipercaya sebagai simbol dari kebutuhan akan kelembutan, romantisme, dan kesetiaan. Bahkan anggrek jadi bahan baku utama dari ramuan cinta. Begitu dahsyat bukan?” Gadis itu panjang lebar menceritakan kembali tentang bunga anggrek. Lama-kelamaan si pria justru ingin mendengar tentang bunga mawar dan dengan senang hati Puspita bercerita; “Dari budaya barat, kita mengenal mawar sebagai cinta dan kecantikan,” imbuh si gadis. Bahkan di Inggris mawar dijadikan bunga nasional. Di Kanada, bunga mawar liar merupakan bunga provinsi Alberta. Di Amerika Serikat, bunga mawar merupakan bunga negara bagian Iowa, North Dakota, Georgia, dan New York. “Mawar merupakan lambang dunia!,” teriak gadis itu lantang bersemangat. Puspita melanjutkan; “Biasanya untuk menyatakan seberapa besar cinta. Satu tangkai berarti cintaku hanya untukmu seorang. Dua tangkai, kau dan aku saling mencintai. Tiga tangkai, aku cinta kamu. “Semakin banyak, semakin kuat maknanya.” 100 tangkai, jadilah pasangan yang mengasihi sampai lanjut usia. 144 tangkai, mencintaimu pagi hingga malam selama-lamanya. 365 tangkai, memikirkanmu setiap hari, mencintaimu setiap hari. Hingga 1001 tangkai yang melambangkan cinta selamanya.” Si pria hanya berkata “banyak sekali, aku hanya memiliki setangkai.” Dan pria itu menekankan bila pria itu memiliki satu tangkai bunga namun memiliki banyak makna akan bunganya itu, lebih dari seribu tangkai, dan mengartikannya sebagai Cinta Sepenuhnya ujar pria itu, seketika membuat Puspita diam. Kemudian si Gadis bertanya kepada si pria tentang apa warna bunga pria yang dimiliki pria itu, sempat tidak ada jawaban dari mulut si pria. Puspita berkata;”Aku paham tentang warna-warna bunga.” namun akhirnya si pria berkata “bungaku berwarna biru.” Namun Puspita tidak percaya dengan diperkuat dengan pengetahuaannya tentang warna bunga; “Di mawar saja, merah lambang cinta romantis. Putih, kesucian dan rahasia. Merah jambu, keanggunan dan kelembutan. Kuning, persahabatan dan kegembiraan. Jingga, hasrat dan semangat, cinta yang mulai tumbuh. Tak ada warna biru,” jelas gadis itu. namun pria itu bersikeras bila bunganya berwarna biru;
“Tapi aku ingat, bunga itu bermahkota biru.”
“Apakah kau merasa kehilangan? Seperti aku kehilangan makna warna biru.”
“Bisa jadi.”
“Jadi warna itu tinggal kenangan? Mengapa kau tak memanamnya lagi?”
“Tidak.”
“Mengapa?”
“Karena aku takkan menanam bunga yang telah layu.”
Si gadis menatap heran. Ia tak mengerti. Seharusnya bukankah pria itu bisa menanamnya lagi. Lelaki itu hanya menatap taman yang penuh dengan bunga putih. Namun setelah berpikir beberapa saat, si gadis baru mengerti. Tiba-tiba langit mendung. Suasana sedikit temaram. Romantis. Titik-titik gerimis menyirami. Sejuk rasanya. Tercium aroma wangi tanah.
“Dan sekarang inginkah kau memiliki bunga lagi?”
“Tentu saja.”
“Benarkah?”
“Benar. Kenapa tidak.”
“Jika ada bunga berwarna biru, benar mau?”
“Yakin. Mau.”
“Kau tahu namaku Puspita?”
“Iya. Aku tahu.”
“Tahukah kau maknanya?”
“Tidak. Memangnya?”
“Puspita itu bunga. Sekarang jadikan aku bungamu.”
Seketika si lelaki mengalihkan pandang dari taman. Bola matanya haru menatap tajam ke gadis bergaun biru itu.

3). Analisis Unsur Instrinsik
     a. Tema              : Bunga yang Melambangkan Cinta
     b. Setting            : Suatu sore yang mendung di suatu taman dengan penuh bunga putih
     c. Alur                : Campuran
     d. Tokoh             : Si Pria kaku dan Puspita, gadis banyak tahu tentang makna bunga
     e. Perwatakan     : Si Pria ( kaku dan banyak diam ), Puspita ( cerdas dan sangat ingin tahu )
     f. Sudut Pandang : Pengarang sebagai orang ketiga yang banyak tahu
     g. Amanat           : “Segala sesuatu yang telah tercipta dalam kehidupan ini tidak dilahirkan begitu saja
                                  tanpa makna dan sebuah arti. Contoh ringanya setangkai bunga yang tiap-tiap bentuk,
                                  jumlah tangkai, warna mahkota, dan harumnya. Seperti yang Puspita ceritakan. Jadi,
                                  semua yang ada pada kehidupan kita ini memiliki artinya sendiri sama seperti manusia
                                  yang memiliki arti hidupnya masing-masing dengan bunganya masing-masing.” 

4). Analisis Unsur Ekstrinsik
    a. Nilai moral : cinta selalu membawa keindahan bagi setiap memilikinya beribu-ribu kali indahnya dari
                           memiliki seribu tangkai bunga mawar.
    b. Nilai sosial : semua hal yang telah tercipta memiliki maknanya sendiri-sendiri, tidak terlahir tanpa
                           mempunyai maksud dan tujuannya.

5). Keunggulan Cerpen
     a. Menawarkan banyak pengetahuan didalam isi cerita cerpen ini seperti halnya makna bunga-bunga yang
         indah.
     b. Bahasanya yang ringan dan mudah dimengerti.
     c. Tokohnya terdiri dari dua tokoh yang membuat cerita menjadi satu-kesatuan cerita yang padu, tanpa
         menghadirkan tokoh yang berlebihan didalam cerita.
     d. Ceritanya menganut cerita yang mudah dipahami oleh kalangan remaja saat ini sehingga memungkinkan
         menarik minat baca kaum muda.

6). Kelemahan Cerpen
     a. Cerita yang terlalu panjang dan menggantung.
     b. Pembaca harus benar-benar mengerti jalan ceritanya karena pemikiran pengarang yang tinggi sehingga
         ceritanya sulit untuk dicerna.

7). Kesimpulan
     “Berdasarkan dari keungglan dan kelemahan cerpen diatas, sebagai perensensi suatu bacaan menilai
     cerpen atau bacaan ini layak untuk di publikasikan di masyarakat.”
Resensi Cerpen
Oleh : Andika Wiranata

Judul Cerpen    :  Guru
Penulis Cerpen :  Putu Wijaya
Terbit               :  Minggu, 8 Mei 2005
                                                                 
                Nama I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang bertanggal lahir 11 April 1944 di Puri Anom, Bali atau lebih dikenal dengan Putu Wijaya adalah seorang sastrawan serba bias. Ia sudah menulis 30 novel, 40 naskah drama, 1000 cerpen, dan banyak karya sastra yang ia ciptakan. Pendiri Teater Mandiri ini, cerpennya sering dimuat di Harian Kompas, dan Sinar Harapan, juga novelnya sering dimuat di Majalah Kartini, Femina, dan Horison. Ia juga pernah mendapat anugrah piala citra di FFI. Selain membuat buku, alumni UGM dan mantan redaktur Tempo ini juga menulis scenario film dan sinetron. Dan berbagai undangan dalam dan luar negeri pernah didapatkan untuk mengetahui kemampuan sastrawan serba bisa  ini.
            Dari ribuan, salah satu cerpen buatannya adalah Guru, ini merupakan cerpen yang bagus dan mendidik karena mengangkat tema moral yang mengajarkan kita tentang keteguhan hati seseorang yang tak tergoda oleh apa pun demi mewujudkan impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang guru.
            Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak bernama Taksu, dia hidup di kota metropolitan yang cita-citanya bebeda dengan anak lainnya di perkotaan, yaitu menjadi seorang guru. Namun keinginannya ini tak berjalan lancar karena orang tuanya tak setuju, karena orang tuanya beranggapan bahwa pekerjaan seorang guru tidak mempunyai masa depan yang jelas, hidup pas-pasan dengan segala kekurangan. Berbulan-bulan orang tuanya member waktu untuk taksu dapat mengubah pendiriannya, dan mulai dari lap top tercanggih hingga mobil BMW yang bernilai milyaran tak diharaukan untuk mengubah pemikirannya untuk menjadi guru.
            Berbagai konflik ditimbulkkan dalam cerpen ini, mulai dari konflik suami yang takut pada istrinya, konflik hidup mati antara seorang ayah dan anaknya, juga konflik batin,dan banyak konflik lain yang menegangkan. Suami yang takut istri dan selalu disalahkan oleh sang istri karena dianggap salah dalam mendidik anak sehingga sang anak berkeinginan untuk menjadi seorang guru menjadi hal humoris dalam cerpen ini. Cerpen ini di satu sisi seperti senjata makan tuan bagi sang Ayah karena jauh sebelum Taksu berkeinginan menjadi guru, ketika kecil ayahnya bernasehat untuk selalu menghormati guru dan menempel guru kerna guru lah yang menjadi gudan dan sumber ilmu, hal ini lah yang menjadi doktrin atau alasan kuat Taksu untuk menjadi seorang guru.
            Cerpen ini pun ada sedikit bumbu percintaan ketika ayah Taksu memarahi Mina seorang anak guru yang pas-pasan yang merupakan kekasih dari Taksu yang dianggap Ayahnya sebagai biang keladi anaknya ingin mejadi guru. Dan Taksu mengajarkan kita tentang keteguhan hati untuk memperjuangkan hal yang baik, juga mengajarkan kita bahwa tidak semuanya dapat dinilai dan dibeli dengan materi, dan yang tak kalah sangant penting adalah mengajarkan kita tentang betapa mulianya profesi seorang guru, bahkan dalam dialog cerpen tersebut Taksu berkata “Sebab guru tidak bias dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak" ketika Taksu diancam akan dibunuh oleh Ayahnya sendiri, satu polemik yang menegangkan.
            Namun beberapa bagian cerpen ini sungguh tidak menghargai bahkan menganggap profesi guru ini sangat rendah dan menggap materi di atas segalanya. Dan tentu cerpen ini menceritakan kehidupan keluaraga yang kurang komunikasi dan kurang harmonis,orang tua berselisih paham dengan anak dan suami yang begitu lembek dengan istri yang pada akhirnya berontak juga.
            Dan di akhir cerita cerpen ini, Taksu menjadi orang yang sukses menjadi pengusaha importir barang-barang mewah dan eksportir kerajinan tangan dan ikan ke berbagai Negara, dan menjadi guru bagi sekitar 10000 orang pegawainya dan gelar doktor honoris causa menjadi pelengkapnya, saat 10 tahun kemudian, ia menggantikan peran ayahnya memikul beban keluarga. Sungguh akhir yang mungkin tak kan dikira oleh orang tua Taksu sendiri dalam cerpen tersebut.
            Secara keseluruhan, cerpen ini mendidik dan banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari sebuah cerpen Guru ini. Para pembaca pun seakan ikut terbawa dalam konflik-konflik yang ada dalam cerpen ini, dan mungkin beberapa akan terharu karena cerpen ini sungguh dramatical penuh perjuangan unutuk menggapai cita-cita, dan penuh dengan godaan dalam mempejuangkan sesuatu. Akan tetapi, tentu ada kekurangan, yaitu pembaca terlalu banyak disuguhi konflik  di hampir sebagian cerita pendek ini dan baru mereda ketika di akhir-akhir cerita pendek ini.
            Seharusnya, penulis mensisipkan lebih banyak jeda konflik dengan suatu hal yang menyegarkan seperi humor, tidak melulu menyajikan pebedaan pendapat  yang menegangkan di sepanjang cerpen ini dan terus mengangkat cerpen-cerpen bertema yang mendidik seperti ini penuh arti di setiap paragraph cerpen, dan tentu dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh berbagai kalangan sehingga pembaca seakan terbawa oleh alur cerita dari cerpen itu sendiri.

resensi novel

  • Judul : Seandainya Aku Boleh Memilih
  • Pengarang : Mira W
  • Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
  • Tahun Terbit : 1999
  • Tempat Terbit : Jakarta
  • Tebal : 224 Halaman
  • Panjang Buku : 18 cm
  • Ilustrasi Buku : Merah tua, putih dan hijau; Warna dasar violet dan terdapat bunga warna putih; dan hijau tua dengan tulisan warna emas.
Awal karir Mira W sebagai penulis dimulai pada tahun 1975. selain menulis Mira W juga sebagai dokter dan staf pengajar di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Buku-buku karya Mira W diantaranya Sepolos Cinta Dini (Gramedia 1978), Cinta Tak Pernah Berhutang (1978) dan Permainan Bulan Desember (1979, Gramedia 1999)
Novel ini diawali dengan pertemuan antara Bandi, Haris dan Riri. Pertemuan itu menghasilkan cinta segitiga dimana Riri telah menikah dengan Bandi yang keadaannya sangat lemah, tapi Riri juga berhubungan dengan Haris, dimana Haris adalah kakak Bandi. Dari hasil hubungan Riri dengan Haris, Riri mempunyai anak yang harus ditinggalkan sejak dia masih bayi.
Berawal dari hal tersebut, mulailah konflik antara Riri, Haris, Bandi dan Ibunya yaitu tentang kebenaran siapa ibu Doni. Dan akhirnya Bandi pun mengetahui kalau Riri telah berkhianat dengan kakaknya sendiri. Masalah pun belum selesai dimana Tanti tidak mau menyerahkan Doni kepada ibunya dan dia nekat bunuh diri.
Kemampuan pengarang memaparkan plot/ alut dengan sangat baik merupakan salah satu kekuatan novel ini. Alur yang dibawakan dalam novel ini adalah alur maju, jadi para pembaca tidak bingung untuk membayangkan cerita dalam novel ini.
Penokohan antara protagonis dan antagonis sangat jelas sehingga pembaca tidak perlu berpikir mengenai siapa yang jahat dan yang baik. Tokoh Riri merupakan tokoh sentral yang mempunyai watak baik, berpikir kritis, cerdas, rela berkorban. Kesempurnaan watak Riri terlihat dalam novel ini, tetapi dalam kesempurnaan tersebut pengarang tetap menyisipkan sifat seorang manusia biasa kepada sang tokoh antagonis dibawakan oleh ibu Bandi. Ibu Bandi yang berwatak tidak mau mengalah / jahat dimana ibu Bandu tega memisahkan cucunya dari ibu kandungnya sendiri.
Sudut pandang maha tahu yang digunakan dalam novel ini juga mendukung keseluruhan cerita. Sang pengarang yang bertindak sebagai seseorang yang mengamati Riri membuat kejadian dalam novel ini ikut tertuang dalam penggunaan sudut pandang ini. Hal inilah yang mendukung alur dan latar. Watak riri juga menjadi sangat jelas bahkan sifat manusia yang dimilikinya tanpa diketahui tokoh lain dalam novel ini akan dapat diketahui oleh pembaca akibat sudut pandang yang digunakan sang pengarang
Novel ini sarat dengan amanat, bahkan dapat disebut sebagai sastra petuah. Adapun amanat yang terdapat di dalam novel ini diantaranya kita harus berbakti kepadas orang tua, kita harus bisa mengendalikan diri kita diantaranya kita atau hawa nafsu, kita pun harus mengalah kepada orang yang lemah dan kita harus berbakti pada suami jika kita sudah menikah. Amanat-amanat lain yang terselip pada berbagai bagian cerita dapat dibaca pada novel ini. Amanat-amanat tersebut terungkap jelas ketika Haris mengikuti semua yang diperintahkan ibunya dan ketika Haris dan Riri harus berkorban demi anaknya.
Pembawaan dua konflik yang sangat jelas berbeda menjadi salah satu kelemahan buku ini. Konflik pertama dibawakan dalam kebohongan yang sudah lama oleh pengarang, kemudian dilanjutkan dengan konflik kedua yang berlawanan dengan konflik yang pertama. Yakni konflik kedua ini tidak ada kebohongan dan pembalasan dari kebohongan itu. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi keunggulan novel ini dalam segi konflik yang dimunculkan. Kedua konflik tersebut tetap menarik untuk diikuti dan diketahui lanjutannya.
Jika Anda membaca novel ini, mungkin Anda tidak bisa berhenti di tengahnya. Novel ini mampu membuat pembacanya terus tertarik hingga akhir cerita. Latar dan alur cerita bagitu jelas mampu membuat Anda merasa ikut dalam ceritanya. Konflik yang menarik dan cerita ini penuh dengan amanat, juga dapat membuat pembaca lebih tertarik. Karena itu cobalah membaca novel ini dan nikmatilah cerita yang dibawakannya.

Contoh Resensi Novel

0
LASKAR PELANGI
A. Identitas Buku

Judul Buku      : Laskar Pelangi
Penulis             : Andrea Hirata
Negara             : Indonesia
Bahasa             : Indonesia
Genre              : Roman
Penerbit           : Yogyakarta: Bentang Pustaka
Tanggal terbit : 2005
Halaman          : xxxiv, 529 halaman
Laskar Pelangi adalah novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan.
B. Isi Buku
1. Sinopsis
Sepuluh anak Melayu Belitong yaitu Ikal, Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah,  Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman (Kiong), Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz, Mukharam Kucai Khairani, Borek alias Samson, Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari, dan  Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan yang disebut Laskar Pelangi ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka.
Sebut saja Lintang, seorang kuli kopra cilik, yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu-bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan lagu padamu negeri di akhir jam sekolah. Ayahnya bekerja sebagai nelayan miskin yang tidak memiliki perahu dan harus menanggung kehidupan 14 jiwa anggota keluarga. Lintang telah menunjukkan minat besar untuk bersekolah semenjak hari pertama berada di sekolah. Ia selalu aktif didalam kelas dan memiliki cita-cita sebagai ahli matematika. Sekalipun ia luar biasa pintar, pria kecil berambut merah ikal ini pernah salah membawa peralatan sekolahnya. Cita-citanya terpaksa ditinggalkan agar ia dapat bekerja untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya semenjak ayahnya meninggal.
Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Pria tampan bertubuh kurus ini memiliki bakat dan minat besar pada seni. Bakat besarnya pertama kali diketahui ketika tanpa sengaja Bu Muslimah menunjuknya untuk bernyanyi di depan kelas saat pelajaran seni suara. Pria yang menyenangi okultisme ini sering dipojokkan teman-temannya. Ketika dewasa, Mahar sempat menganggur menunggu nasib menyapanya karena tak bisa ke manapun lantaran ibunya yang sakit-sakitan. Akan tetapi, nasib baik menyapanya dan ia diajak petinggi untuk membuat dokumentasi permainan anak tradisional setelah membaca artikel yang ia tulis di sebuah majalah, dan akhirnya ia berhasil meluncurkan sebuah novel tentang persahabatan.
Tokoh ‘aku’ dalam cerita ini. Ikal yang selalu menjadi peringkat kedua memiliki teman sebangku bernama Lintang, yang merupakan anak terpintar dalam Laskar Pelangi. Ia berminat pada sastra, terlihat dari kesehariannya yang senang menulis puisi. Ia menyukai A Ling, sepupu dari A Kiong, yang ditemuinya pertama kali di sebuah toko kelontong bernama Toko Sinar Harapan. Pada akhirnya hubungan mereka berdua terpaksa berakhir oleh jarak akibat kepergian A Ling ke Jakarta untuk menemani bibinya.
Sahara. Satu-satunya gadis dalam anggota Laskar Pelangi. Sahara adalah gadis keras kepala berpendirian kuat yang sangat patuh kepada agama. Ia adalah gadis yang ramah dan pandai, ia baik kepada siapa saja kecuali pada A Kiong yang semenjak mereka masuk sekolah sudah ia basahi dengan air dalam termosnya.
A Kiong. Anak Hokian. Keturunan Tionghoa ini adalah pengikut sejati Mahar sejak kelas satu. Baginya Mahar adalah suhunya yang agung. Kendatipun pria kecil ini berwajah buruk rupa, ia memiliki rasa persahabatan yang tinggi dan baik hati, serta suka menolong pada siapapun kecuali Sahara. Namun, meski mereka selalu bertengkar, ternyata mereka berdua saling mencintai satu sama lain.
Syahdan. Anak nelayan yang ceria ini tak pernah menonjol. Kalau ada apa-apa dia pasti yang paling tidak diperhatikan. Misalnya ketika bermain sandiwara, Syahdan hanya kedapatan jadi tukang kipas putri dan itupun masih banyak kesalahannya. Syahdan adalah saksi cinta pertama Ikal, ia dan Ikal bertugas membeli kapur di Toko Sinar Harapan semenjak Ikal jatuh cinta pada A Ling. Syahdan ternyata memiliki cita-cita yang tidak pernah terbayang oleh Laskar Pelangi lainnya yaitu menjadi aktor. Dengan bekerja keras pada akhirna dia menjadi aktor sungguhan meski hanya mendapatkan peran kecil seperti tuyul atau jin. Setelah bosan, ia pergi dan kursus komputer. Setelah itu ia berhasil menjadi network designer.
Kucai. Ketua kelas sepanjang generasi sekolah Laskar Pelangi. Ia menderita rabun jauh karena kurang gizi dan penglihatannya melenceng 20 derajat, sehingga jika ia menatap marah ke arah Borek, maka akan terlihat ia sedang memperhatikan Trapani. Laki-laki ini sejak kecil terlihat bisa menjadi politikus dan akhirnya diwujudkan ketika ia dewasa menjadi ketua fraksi di DPRD
Borek. Pria besar maniak otot. Borek selalu menjaga citranya sebagai laki-laki macho. Ketika dewasa ia menjadi kuli di toko milik A Kiong dan Sahara.
Trapani. Pria tampan yang pandai dan baik hati ini sangat mencintai ibunya. Apapun yang ia lakukan harus selalu didampingi ibunya, seperti misalnya ketika mereka akan tampil sebagai band yang dikomando oleh Mahar, ia tidak mau tampil jika tak ditonton ibunya. Cowok yang bercita-cita menjadi guru ini akhirnya berakhir di rumah sakit jiwa karena ketergantungannya terhadap ibunya.
Harun. Pria yang memiliki keterbelakangan mental ini memulai sekolah dasar ketika ia berumur 15 tahun. Laki-laki jenaka ini senantiasa bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga dan melahirkan tiga anak yang masing-masing berbelang tiga pada tanggal tiga kepada Sahara dan senang sekali menanyakan kapan libur lebaran pada Bu Muslimah. Ia menyetor 3 buah botol kecap ketika disuruh mengumpulkan karya seni kelas enam.
Tokoh-tokoh lain dalam novel ini adalah Bu Muslimah yang bernama lengkap N.A. Musimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid. Dia adalah Ibunda Guru bagi Laskar Pelangi. Wanita lembut ini adalah pengajar pertama Laskar Pelangi dan merupakan guru yang paling berharga bagi mereka.
Pak Harfan. Nama lengkap K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor. Kepala sekolah dari sekolah Muhammadiyah. Ia adalah orang yang sangat baik hati dan penyabar meski murid-murid awalnya takut melihatnya.
Flo. Bernama asli adalah Floriana, seorang anak tomboi yang berasal dari keluarga kaya. Dia merupakan murid pindahan dari sekolah PN yang kaya dan sekaligus tokoh terakhir yang muncul sebagai bagian dari laskar pelangi. Awal pertama kali masuk sekolah, ia sempat membuat kekacauan dengan mengambil alih tempat duduk Trapani sehingga Trapani yang malang terpaksa tergusur. Ia melakukannya dengan alasan ingin duduk di sebelah Mahar dan tak mau didebat.
A Ling . Cinta pertama Ikal yang merupakan saudara sepupu A Kiong. A Ling yang cantik dan tegas ini terpaksa berpisah dengan Ikal karena harus menemani bibinya yang tinggal sendiri.
Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka dan temukan diri anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. Novel ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories dan khususnya juga buat siapa saja yang masih percaya akan adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia pendidikan. Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar.
2. Kelebihan
Kelebihannya buku ini menceritakan tentang persahabatan dan setia kawanan yang erat dan juga mencakup pentingnya pendidikan yang begitu mendalam. Serta kisahnya yang mengharukan.
3. Kelemahan
Kelemahannya yaitu penggunaan nama-nama ilmiah dalam ceritaceritanya. Hal ini membuat pembaca kurang nyaman dalam membaca. Apalagi glosarium diletakkan di bagian belakang novel. Hal ini menambah ketidakpraktisan memahami istilah-istilah ini. Selain itu, imajinasi pembaca bisa terhambat jika mereka tak memahami istilah-istilah tersebut. Alurnya yang tidak jelas. Tidak seperti Harry Potter atau Ayat-Ayat Cinta dengan alur yang enak diikuti, cerita-cerita dalam Laskar Pelangi ini alur waktunya dibolak-balik sehingga membingungkan pembaca. Apalagi tidak disebutkan tahun berapakah tiap-tiap peristiwa itu terjadi.
C. Organisasi Buku
Novel yang berjudul Laskar Pelangi ini dalam penyajiannya sudah cukup baik sebagai bacaan semua umur. Dimulai dari pembukaan cerita sampai penutup cerita sudah baik karena dari satu cerita ke cerita lainnya tidak bertele-tele atau menyambung dan uniknya lagi pengarang dapat mengajak pembaca untuk berpikir akhir dari cerita novel itu (solution).


D. Bahasa Buku

Pengarang menggunakan bahasa yang tidak baku supaya masyarakat umum (bahasa daerah), khususnya para remaja mudah mengerti dari isi novel ini.


E. Kesimpulan
Dari novel yang di buat oleh Andre Hirata ini, saya dapat mengambil beberapa pelajaran hidup yang penting, salah satunya kita harus benar-benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidak pantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidak mungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidak menjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh lintang, dia anak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disini saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepas dari campur tangan Tuhan.
F. Saran
Berikut beberapa saran dari saya bagi para pembaca. Untuk benar-benar memahami novel ini kita harus mengenal nama-nama ilmiah.
Resensi Novel Ayat-ayat Cinta
Detail Novel
Judul: Ayat Ayat Cinta
ISBN: 979-3604-02-6
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit: Republika
Terbit: Desember 2004
Isi: 419 halaman 

Sinopsis Novel Ayat-ayat Cinta
Ayat-ayat cinta adalah sebuah novel 411 halaman yang ditulis oleh seorang novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda. Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.

Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang berbeda latar belakang dan budaya; yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang studi di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah metro (sejenis trem).

Mein Neim Ist Aisha

Pada waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir. kepadanya Fahri belajar tentang qiraah Sab’ah (membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir paling pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali seminggu, setiap hari Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif dalam memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.

Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan seorang pemuda mesir bernama Ashraf yang juga seorang Muslim. Merteka bewrcerita tentang banyak hal, termasuk tentang kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu diantara dua perempuan itu adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah. Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tidak mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka yang teramat sangat kepada Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk menggelosor di lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang sebelumnya dipersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya bisa didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf atas pwerlakuan orang-orang Mesir lainnya. Disinilah awal perdebatan itu terjadi. Orang-orang Mesir yang kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada sang gadis, dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha untuk meredakn perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi karena biasannya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh kemarahannya dan ternyata berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar, dan umpatan-umpatan itu tidak layak untuk dilontarkan. Namun apa yang terjadi, orang-orang Mesir itu kembali mrah dan meminta Fahri untuk tidak ikut campur dan jangan sok alim karena juz Amma saja belumtentu ia hafal. Kemudian emosi mereka mereda ketika Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu, mengatakan bahwa Fahri adalah mahasiswa Al-Azhar dan hafal Al-Qur’an dan juga murid dari Syaikh Utsman yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu meminta maaf pada fahri. Fahri kemudian menjelaskan bahwasanya mereka tidak seharusnya bertindak seperti itu karena ajaran Baginda Nabi tidak seperti itu. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap kepada tamu apalagi orang asing sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Mereka pun mengucapkan terima kasih pada fahri karena sudah megingatkan mereka. Sementara itu, si bule perempuan muda, Alicia, sedang mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi dari si perempuan bercadar dengan bahasa Inggris yang fasih.Kemudian Alicia berterima kasih dan menyerahkan kartu namanya pada Fahri. Tak berapa lama kemudian metro berhenti dan perempuan bercadar itupun bersiap untuk turun. Sebelum turun ia mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya tadi. Akhirnya mereka pun berkenalan. Dan ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan gadis asal Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.

Di Mesir, Fahri tinggal bersama dengan keempat orang temannya yang juga berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Fahri sudah tujuh tahun hidup di Mesir. Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua lantai, dimana lantai dasar menjadi tempat tinggal Fahri dan empat temannya, sedangkan yang lantai atas ditempati oleh sebuah keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros, Madame Nahed, dan dua orang anak mereka – Maria dan Yousef. Walau keyakinan dan aqidah mereka berbeda, namun antara keluarga Fahri (Fahri dkk) dan keluarga Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Di Mesir, bukanlah suatu keanehan apabila keluarga Kristen koptik dan keluarga Muslim dapat hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat. Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri terutama Maria. Maria adalah seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis koptik yang aneh, karena walaupun Maria itu seorang non-muslim ia mampu menghafal dua surah yang ada dalam Al-Quran dengan baik yang belum tentu seorang Muslim mampu melakukannya. Ia hafal surat Al-Maidah dan surah Maryam. Fahri juga baru mengetahuinya ketika mereka secara tak sengaja bertemu di metro. Seluruh anggota keluarga Boutros sangat baik kepada Fahri dkk. Bahkan ketika Fahri jatuh sakit pun keluarga ini jugalah yang membantu membawa ke rumah sakit dan merawatnya selain keempat orang teman Fahri. Apalagi Maria, dia sangat memperhatikan kesehatan Fahri. Keluarga ini juga tidak segan-segan mengajak Fahri dkk untuk makan di restoran berbintang di tepi sungai Nil,kebanggaan kota Mesir, sebagai balasan atas kado yang mereka berikan. Pada waktu itu Madame Nahed berulang-tahun dan malam sebelumnya Fahri dkk memberikan kado untuknya hanya karena ingin menyenangkan hati beliau karena bagi Fahri menyenangkan hati orang lain adalah wajib hukumnya. Setelah makan malam, tuan dan nyonya Boutros ingin berdansa sejenak. Madame Nahed meminta Fahri untuk mengajak Maria berdansa karena Maria tidak pernah mau di ajak berdansa. Setelah tuan dan nyonya Boutros melangkah ke lantai dansa dan terhanyut dengan alunan musik yang syahdu, Maria pun memberanikan diri mengajak Fahri untuk berdansa, namun Fahri menolaknya dengan alasan Maria bukan mahramnya kemudian menjelaskannya dengan lebih detail. Begitulah Fahri, ia selalu berusaha untuk menjunjung tinggi ajaran agama yang dianutnya dan selalu menerapkannya dalm kehidupan sehari-hari.

Si Muka Dingin Bahadur dan Noura yang Malang

Selain bertetangga dengan keluarga Boutros, Fahri juga mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang perangainya berbanding 180 derajat dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur yang terkenal dengan julukan si Muka Dingin karena ia selalu berperangai kasar kepada siapa saja bahkan dengan istrinya madame Syaima dan putri bungsunya Noura. Bahadur dan istrinya mempunyai tiga orang putri, Mona, Suzanna, dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam namun tidak halnya dengan Noura, dia berkulit putih dan berambut pirang. Hali inilah ang membuat Noura dimusuhi keluarganya yang pada akhirnya membuat dirinya tercebur kedalam penderitaan yang amat sangat. Bahadur mempunyai watak yang keras dan bicaranya sangat kasar, Nouralah yang selalu menjadi sasaran kemarahannya. Dan kedua orang saudaranya yang juga tidak menyukai Noura mengambil kesempatan ini untuk ikut-ikutan memaki dirinya. Sampai tibalah pada suatu malam yang tragis dimana Bahadur menyeret Noura ke jalanan dan punggungnya penuh dengan luka cambukan. Hal ini sudah sering terjadi, namun malam itu yang terparah. Tak ada satu orang pun yang berani menolong. Selain hari sudah larut, Bahadur juga dikenal amat kejam. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi melihat penderitaan Noura, Fahri pun meminta bantuan Maria melaui sms untuk menolong Noura. Awalnya Maria menolak karena tidak mau keluarganya terlibat dengan keluarga Bahadur. Namun setelah Fahri memohon agar Maria mau menolongnya demi kecintaan Maria terhadap Al-Masih, Maria akhirnya luluh juga. Jadilah malam itu Noura menginap di rumah keluarga Boutros. Malam ini jualah yang akhirnya menghantarkan Fahri ke dalam penderitaan yang sama.

KELEBIHAN
  • Ceritanya begitu menyentuh dan mengalir seakan pembaca mengalami berbagai problema yang melilit sang tokoh
  • Penulis mengajak pembaca mendalami Islam dengan bahasanya yang menyejukkan
  • Kisah-kisah hubungan antar manusia (kisah cinta) digambarkan secara menarik dan utuh tanpa harus terasa vulgar.
KEKURANGAN
  • Seorang pria dicintai empat orang wanita. Mungkinkah? Jika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, rasanya aneh jika ada pria yang di”gilai” oleh empat orang wanita sekaligus. Baik Aisha, Maria, Noura, dan Nurul menginginkan Fahri menjadi suaminya. Beruntung sekali tokoh Fahri! Mungkinkah hal yang demikian ada dalam kehidupan nyata?
  • Noura frustasi karena tidak mendapatkan cinta Fahri. Ia lantas memfitnah Fahri dengan tuduhan yang kejam. Benarkah ada seorang wanita yang seperti Noura dalam kehidupan nyata? Cinta tetaplah cinta. Tidak akan berubah menjadi pisau yang dapat menusuk dari belakang.
MANFAATAN
  • Merupakan media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang islam.
  • Dengan membaca novel ini kita dapat mengetahui geografi kota Mesir serta sosial budaya Timur Tengah tanpa harus pergi ke sana.
  • Memberikan contoh pada kita tentang sebuah pernikahan yang baik dan sesuai syariat Islam