Pamor Kesejatian Hidup
Oleh: Hamidin Krazan
Judul Buku : Kumpulan Puisi Tegalan
Ngranggeh Katuranggan
Penerbit : Tegal Tegal
Dimensi Buku : 98 halaman
Cetakan Pertama :Januari 2009
UNTAIAN
mutiara kehidupan tersirat dan terangkai pada seutas benang merah yang
teracik dalam buku kupulan puisi ini. Karya puisi keroyokan yang
melibatkan para penulis puisi dari lintas profesi bahkan lintas
generasi. Kategori ‘penyair sejati’ hanya beberapa orang. Sebagian besar
didominasi para penulis dari kalangan wiraswasta, guru, juragan,
aparat, pejabat hingga Walikota.
Hal ini menjadi rangkaian kekuatan
yang utuh bagai sajian musik orkestra. Semua puisi terhimpun dalam satu
tema dan makna yang pencapaiannya melalui pelangi pikir yang merentas
dari sudut pandang yang majemuk.
Tidak ditemukan makna ‘Ngranggeh
Katuranggan’ baik secara etimologi maupun terminoligi di halaman pembuka
dari untain judul ini. Secara filosofi, Dr Maufur memaparkan artinya
pada puisi yang ditampilkan di back cover.
‘Ngrenggeh Katuranggan’
itu sebuah upaya meraih kemuliaan hidup dan kesejatian diri. Sejumlah
puisi menampilkan pamornya dalam wujud tatanan kata dan makna parsial
sesuai dengan ukuran nilai ideal dalam setiap lini kehidupan yang
tentunya terjalin dengan proses penciptaan puisi.
Seperti pandangan
Dr Maufur terhadap hakekat jabatan tersimpul menjadi satu untaian titian
dari racikan nilai ideal pe-dapuk-an seorang abdi masyarakat, abdi
bangsa sekaligus berada dalam poros putaran sikulus hakiki sebagai abdi
Sang Khalik. Dalam puisi ‘Pangsiun’ (Dr Maufur) ngudarasa mengenai
bagaimana sebuah deretan tugas formal yang dituntut harus ditunaikan
agar menuai hasil maksimal namun dikerjakan dalam rentang waktu
sejengkal. Salah satu larik menegaskan satu iktikad sekaligus prinsip.
‘…nyong tetep sahaja lan tansah berjuwang’. (…’aku selalu bersahaja dan
tetap berjuang)
Kongkrit dari bentuk perjuangan, dibahasakan dalam
‘Clandakan’ (Emma Karimah), dengan cara kesesuaian antara perkataan
dengan perbuatan. Terwujudnya janji dengan bukti pelaksanaan program
jika si aku lirik seorang eksekutif maupun legislatif.
Sedangkan
puisi ‘Tak Jaluk’ dan Ngertia Maring Inyong’ (Lanag Setiawan) terpentok
pada pupus atau sangga langit dari hakekat cinta biolgis. Beda jauh
dengan ‘The Long and Winding Road’, Surat 1, 2 (M Hadi Utomo). Meski
senafas, tetapi ketiga puisi M Hadi lebih menyajikan liris metaforis
sehingga menguak ruang imaji lebih menembus hakikat cinta bernuansa
transendental (ilahiyah). Meskipun belum sedahsyat konsep mahabbah tokoh
sufi Rabiah Al Adawiyah.
Pamor atau citra kemulian yang diidamkan
baik dalam kehidupan berkeluarga, buah madu dalam keluarga (anak),
hakikat seorang istri, sosok ideal dalam bentangan umur yang sangat
singkat, masing-masing terwakili dalam puisi ‘Bocah Ilang’ dan
‘Katresnan’ (Wijanarko), ‘Ora Gampang’ (Oyan S Aryo), ‘Bayangan’ (Denok
Harti), ‘Ngenteni’ (H Tambari Gustam).
Wacana jatidiri bangsa dan
ke-Indonesia-an sejati tertutur melalui ‘Salah Sijine Crita’ (Diah
Setyawati), ‘Mbetahi lan Ngayemi’ (Abu ma’mur MF). Praktik hidup sosial
kemasyarakatan maupun sikap politis seseorang idelanya tidak segetir
dalam ‘Negara Cingkarangmalang…’ (Nurngudiono) atau ‘Brandal Mas Cilik’
(Yono Daryono) yang menyuarakan kondisi tatanan sosial yang asosial.
Lebih mengiris nadi rakyat lagi jika di dalam kehidupan masyarakat dan
berbangsa ‘…pemimpine budek picek gupak madu.’ (Pemimpinnya tuli buta
berkubang madu).
Kalaupun mereka baik --namun masih ada tapinya-- seperti disinyalir ada persekongkolan subhat, dalam puisi Wali Kota Tegal,
Adi Winarso berjudul ‘Pecingan’ dan ‘Onggrongan’. Kedua puisi ini oleh
editor (Lanang Setiawan) ditempatkan sebagai puisi urutan terdepan.
Rumus
menjadi baik, menghasilkan tatanan dan perilaku yang mendekati ideal,
seseorang tidak bisa lepas dari proses dan pembelajaran kebaikan melalui
berbagai jalan. Secara lirik puisi Atmo Tan Sidik memberikan indikasi
wujud sang guru sejati, yakni pengalaman hidup itu sendiri. Ada semacam
motivasi agar setiap orang pandai ber-iqra terhadap fenomena alam (ayat
kauniyah) seperti pada puisi ‘Sing Nggo Tuku Sing langka’. Senada dengan
itu tersebut dalam puisi ‘Resep Cina’ (Abu Ma’ruf).
Satu hal yang
perlu direnungkan, Dwi Ery Santoso memberikan tutur tinular yang kini
kian terlantar. Di salah satu petikan ‘Saoran-Orane’, Ery mengajak
kontemplasi (muhasabah). //pancen saiki wong jawa wis akeh/ pada
ninggalna watek asline/ ora pada gelem nyekeli elmu tani… // (Memang
kini banyak orang Jawa/ melukar jati dirinya/ enggan berpegang ilmu
petani…) Akibatnya? Silakan baca bukunya *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar